Putusan Nomor PUT-009630.15/2020/PP/M.VIIIA Tahun 2025 menjadi penegasan penting atas kewajiban pembuktian otoritas pajak dalam konteks sengketa transfer pricing di Indonesia. Inti konflik hukum dalam perkara ini adalah koreksi atas Harga Pokok Penjualan (HPP) yang berasal dari transaksi impor dengan pihak-pihak berelasi, di mana Direktur Jenderal Pajak (DJP) menilai transaksi tersebut tidak memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (Arm’s Length Principle). Sengketa ini menyoroti kompleksitas implementasi Pasal 18 Undang-Undang Pajak Penghasilan yang memberi kewenangan kepada DJP untuk menghitung kembali Penghasilan Kena Pajak.
Konflik esensial dalam kasus ini berpusat pada dua aspek utama. Di satu sisi, DJP berargumen bahwa Pemohon Banding, PT AI, gagal menyediakan dokumentasi yang memadai—khususnya informasi terperinci mengenai fungsi, aset, dan risiko (FAR) dari entitas afiliasi di luar negeri—sehingga DJP menggunakan kewenangan penelitiannya untuk menetapkan koreksi. Di sisi lain, PT AI membantah koreksi tersebut, menegaskan bahwa mereka telah menyerahkan seluruh bukti pembukuan dan Dokumentasi Transfer Pricing (TP Doc) yang lengkap. PT AI berpendapat bahwa koreksi DJP adalah asumtif dan secara fundamental cacat karena adanya perbedaan pandangan tentang siapa yang seharusnya menjadi Pihak yang Diuji (Tested Party).
Dalam analisis Transfer Pricing yang dilakukan PT AI, mereka secara konsisten memilih dirinya sendiri (PT AI) sebagai Tested Party, yang didukung oleh argumentasi bahwa PT AI adalah Least Complex Entity (Entitas Paling Sederhana) dalam rantai transaksi grup, karena hanya menjalankan fungsi distribusi dan penjualan di Indonesia. Sebaliknya, afiliasi luar negeri memiliki fungsi produksi, risiko yang lebih besar, dan kepemilikan aset tidak berwujud yang kompleks.
DJP, dalam koreksinya, menolak pemilihan tersebut dan berupaya menguji pihak afiliasi luar negeri. Langkah ini, menurut PT AI, adalah kekeliruan metodologis yang fundamental.
Majelis Hakim pada akhirnya menguatkan posisi Wajib Pajak. Majelis menegaskan bahwa upaya DJP untuk menguji entitas yang lebih kompleks (afiliasi luar negeri) secara esensial melanggar Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PKKU), khususnya kaidah Least Complex Entity dalam metode berbasis laba bersih seperti TNMM. Lebih lanjut, Majelis Hakim menyimpulkan bahwa DJP, sebagai pihak yang melakukan koreksi, gagal membuktikan bahwa pemilihan Tested Party oleh PT AI salah, dan gagal menyajikan bukti transaksional yang meyakinkan untuk mendukung koreksi HPP-nya.
Dalam resolusi konflik tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak, setelah melakukan pengujian bukti yang mendalam, berpandangan bahwa DJP selaku pihak yang mengoreksi, belum berhasil memenuhi beban pembuktiannya. Koreksi atas HPP terkait Transfer Pricing yang diajukan DJP dinilai tidak didukung oleh bukti dan argumentasi yang cukup kuat untuk menepis seluruh bukti dan argumentasi kewajaran yang telah disampaikan oleh PT AI, termasuk metodologi TP yang digunakan PT AI. Meskipun perkara ini merupakan sengketa pembuktian, hasil akhirnya menyiratkan bahwa Majelis Hakim lebih menerima validitas dokumentasi dan analisis kewajaran yang disusun oleh PT AI.
Implikasi dari putusan ini sangat signifikan bagi praktik perpajakan multinasional di Indonesia. Keputusan Majelis untuk mengabulkan sebagian besar banding PT AI dan mengembalikan perhitungan pajak menjadi nihil menempatkan penekanan yang kuat pada kualitas dan substansi TP Doc. Putusan ini menjadi pengingat bagi seluruh Wajib Pajak multinasional untuk senantiasa memastikan bahwa dokumentasi mereka tidak hanya patuh secara formal, tetapi juga memiliki kedalaman analisis (terutama FAR Analysis dan pemilihan tested party serta komparabel) yang mampu berdiri tegak di hadapan Majelis Hakim, bahkan ketika menghadapi argumentasi koreksi dari otoritas pajak.
Analisa Lengkap dan Komprehensif atas Sengketa Ini Tersedia di sini